Keadaan Gereja Kristen di Korea Utara yang teraniaya
Pemerintah Korea Utara Mengklaim Bahwa Mereka Tengah Membangun Jaringan Gereja Bawah Tanah untuk Menggulingkan Rezim Penguasa
Korea Utara menjatuhkan vonis hukuman mati kepada 33 orang yang diduga mengadakan kontak dengan seorang misionaris, demikian laporan dari organisasi berita terbesar di Korea Selatan. Ke-33 orang warga Korea Utara ini didakwa atas tuduhan berusaha menggulingkan rezim penguasa dengan cara menyiapkan 500 gereja bawah tanah, itulah yang disampaikan sebuah harian Korea Selatan, Chosun Ilbo, berdasarkan kesaksian seorang sumber yang tidak disebutkan namanya. Koran tersebut juga mengabarkan bahwa para terdakwa dituduh telah bekerja sama dengan Kim Jung Wook seorang warga Korea Selatan yang ditangkap pihak berwenang Korea Utara pada bulan Oktober tahun lalu karena dicurigai telah melakukan upaya pembentukan gereja-gereja bawah tanah. Hukuman mati akan dilaksanakan di lokasi yang dirahasiakan dan akan dilakukan oleh aparat Departemen Keamanan Negara.
Tidak diketahui berapa banyak orang Kristen dari 33 orang yang ditangkap tersebut. Kim ditangkap di Korea Utara pada bulan Oktober lalu karena tuduhan membangun jaringan gereja bawah tanah. Chosun Ilbo mengutip suatu sumber tak bernama dari China yang menyatakan, para agen rahasia Korea Utara menculik Kim di kota perbatasan Dandong, China dan membawanya ke Korea Utara.
Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, telah memerintahkan penanganan atas segala "unsur haram" versi negara tersebut. Tahun lalu, paman sekaligus mentornya, Jang Song Thaek, telah dieksekusi. Tak berapa lama, anak-anak Jang, beserta saudara-saudara laki-laki dan cucu-cucunya juga dibunuh. Vonis atas 33 orang warga Korea Utara ini dijatuhkan tepat sehari setelah seorang misionaris asal Australia, John Short, tiba di China usai penahanannya selama beberapa minggu di Korea Utara, akibat menyebarkan selebaran Kristen di dalam sebuah kuil agama B. Surat kabar lokal Korea Utara, KCNA, melaporkan bahwa Short telah meminta maaf dan mengaku telah melanggar hukum Korea Utara. Menurut KCNA, Korea Utara membebaskan Short, 75 tahun atas pertimbangan usianya yang telah lanjut.
Misionaris Amerika, Kenneth Bae, hingga kini masih berada dalam penjara Korea Utara sejak penahanannya pada November 2012 ketika sedang mendampingi perjalanan wisata sekelompok turis. Jaksa Penuntut menuduh Bae merencanakan kudeta dengan menyiapkan basis-basis kekuatan di China, mendorong warga Korea Utara untuk menggulingkan pemerintah serta melancarkan kampanye berisi fitnahan-fitnahan atas pemerintah Korea Utara. Meski kesehatan Bae terganggu dan pemerintah Korea Utara menerima berbagai tekanan diplomatik untuk membebaskannya, pria itu akan tetap menjalani pemenjaraan selama 15 tahun ke depan.
Diperkirakan sebanyak sepuluh ribu umat Kristen ditahan di penjara dan kamp-kamp kerja paksa di Korea Utara. Beberapa waktu lalu, seorang perempuan yang pernah ditahan selama 3 tahun di kamp kerja paksa menggambarkan kondisi di sana selama ia dipenjarakan. Ia berhasil kabur dari kamp tersebut dan kami terpaksa merahasiakan namanya karena kuatir pemerintah Korea Utara akan membalas dendam terhadap keluarganya yang masih tinggal di negara itu.
Perempuan itu berkata, ia dan beberapa orang lainnya ditahan sepuluh tahun lalu karena melarikan diri dari Korea Utara, mereka dibawa kembali ke Korea Utara dan dijebloskan ke dalam penjara. "Para buronan ini mengkhianati saya, mereka mengatakan kepada polisi bahwa saya mengajarkan Alkitab pada mereka," tutur perempuan itu kepada World Watch Monitor. "Selama interogasi pertama saya dipukuli, tapi kemudian siksaannya makin buruk. Para penjaga meletakkan tongkat di antara kedua lutut saya dan menekan saya ke bawah. Saya berkata pada Tuhan bahwa saya tidak kuat lagi menerima siksaan ini dan berdoa agar Tuhan menjaga bibir saya supaya tidak menyangkal Tuhan."
Setelah hampir setahun ditahan di beberapa penjara yang berbeda, perempuan tersebut akhirnya dikirim ke sebuah kamp kerja paksa selama hampir tiga tahun. "Dinding barak kami penuh dengan noda darah, karena kami membunuh lalat dan kutu sebanyak mungkin yang bisa kami tangkap," katanya. "Dalam sehari, kami hanya menerima makanan berupa beberapa sendok jagung busuk, sup yang kami makan biasanya hanya air kotor. Jika kami haus dan ingin minum, kami harus mencurinya dari aliran sungai di dekat kamp yang penuh dengan sampah para sipir."
"Di dalam kamp, tingkat kematian sangatlah tinggi hingga mayat-mayat ditumpuk menggunung di luar krematorium," katanya. "Terkadang, mayat-mayat itu dibiarkan begitu saja berhari-hari hingga membusuk, sebelum akhirnya dibuang atau dibakar. Abu pembakaran mayat-mayat itu terhembus ke jalanan yang kami lewati setiap hari. Setiap kali saya menjejakkan kaki di atas jalan itu, saya berpikir: 'Suatu hari nanti, akan ada tahanan lain yang berjalan di atas abu ku.’"
Kalaupun ada orang Kristen lainnya di dalam kamp, mereka selalu merahasiakan identitasnya masing-masing. "Tak ada yang berani berbicara tentang iman percaya di dalam kamp," kata perempuan itu. "Selain itu, saya sangat beruntung dikirim ke sebuah kamp edukasi ulang dan akhirnya dibebaskan. Kebanyakan umat Kristen dijebloskan ke sebuah tempat yang dijuluki ‘Zona Pengawasan Total’, suatu kamp kerja paksa bernuansa politik, tak satu pun yang pernah dibebaskan dari sana. Pemerintah Korea Utara Mengklaim Bahwa Mereka Tengah Membangun Jaringan Gereja Bawah Tanah untuk Menggulingkan Rezim Penguasa
Korea Utara menjatuhkan vonis hukuman mati kepada 33 orang yang diduga mengadakan kontak dengan seorang misionaris, demikian laporan dari organisasi berita terbesar di Korea Selatan. Ke-33 orang warga Korea Utara ini didakwa atas tuduhan berusaha menggulingkan rezim penguasa dengan cara menyiapkan 500 gereja bawah tanah, itulah yang disampaikan sebuah harian Korea Selatan, Chosun Ilbo, berdasarkan kesaksian seorang sumber yang tidak disebutkan namanya. Koran tersebut juga mengabarkan bahwa para terdakwa dituduh telah bekerja sama dengan Kim Jung Wook seorang warga Korea Selatan yang ditangkap pihak berwenang Korea Utara pada bulan Oktober tahun lalu karena dicurigai telah melakukan upaya pembentukan gereja-gereja bawah tanah. Hukuman mati akan dilaksanakan di lokasi yang dirahasiakan dan akan dilakukan oleh aparat Departemen Keamanan Negara.
Kim, seorang misionaris Gereja Baptis, muncul di sebuah stasiun televisi lokal Korea Utara pada 27 Februari lalu dan mengaku bekerja di bawah arahan Badan Intelijen Nasional Korea Selatan dengan tujuan untuk meruntuhkan rezim Pyongyang. Tidak diketahui apakah kemunculan Kim di televisi akan membuatnya dibebaskan atau tidak. Dalam tayangan yang sama, pihak berwenang Korea Utara menunjukkan rekaman wawancara dengan lima orang warga Korea Utara yang mengaku telah diberi sejumlah uang oleh Kim. Meski demikian, tidak disebutkan apakah lima orang tersebut termasuk dalam daftar 33 orang yang telah ditahan sebelumnya. Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa Kim bersumpah, usai menggulingkan rezim di Pyongyang ia akan membangun sebuah gereja, tepat di lokasi patung pendiri Korea Utara, Kim Il Sung berada.
Tidak diketahui berapa banyak orang Kristen dari 33 orang yang ditangkap tersebut. Kim ditangkap di Korea Utara pada bulan Oktober lalu karena tuduhan membangun jaringan gereja bawah tanah. Chosun Ilbo mengutip suatu sumber tak bernama dari China yang menyatakan, para agen rahasia Korea Utara menculik Kim di kota perbatasan Dandong, China dan membawanya ke Korea Utara.
Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, telah memerintahkan penanganan atas segala "unsur haram" versi negara tersebut. Tahun lalu, paman sekaligus mentornya, Jang Song Thaek, telah dieksekusi. Tak berapa lama, anak-anak Jang, beserta saudara-saudara laki-laki dan cucu-cucunya juga dibunuh. Vonis atas 33 orang warga Korea Utara ini dijatuhkan tepat sehari setelah seorang misionaris asal Australia, John Short, tiba di China usai penahanannya selama beberapa minggu di Korea Utara, akibat menyebarkan selebaran Kristen di dalam sebuah kuil agama B. Surat kabar lokal Korea Utara, KCNA, melaporkan bahwa Short telah meminta maaf dan mengaku telah melanggar hukum Korea Utara. Menurut KCNA, Korea Utara membebaskan Short, 75 tahun atas pertimbangan usianya yang telah lanjut.
Misionaris Amerika, Kenneth Bae, hingga kini masih berada dalam penjara Korea Utara sejak penahanannya pada November 2012 ketika sedang mendampingi perjalanan wisata sekelompok turis. Jaksa Penuntut menuduh Bae merencanakan kudeta dengan menyiapkan basis-basis kekuatan di China, mendorong warga Korea Utara untuk menggulingkan pemerintah serta melancarkan kampanye berisi fitnahan-fitnahan atas pemerintah Korea Utara. Meski kesehatan Bae terganggu dan pemerintah Korea Utara menerima berbagai tekanan diplomatik untuk membebaskannya, pria itu akan tetap menjalani pemenjaraan selama 15 tahun ke depan.
Diperkirakan sebanyak sepuluh ribu umat Kristen ditahan di penjara dan kamp-kamp kerja paksa di Korea Utara. Beberapa waktu lalu, seorang perempuan yang pernah ditahan selama 3 tahun di kamp kerja paksa menggambarkan kondisi di sana selama ia dipenjarakan. Ia berhasil kabur dari kamp tersebut dan kami terpaksa merahasiakan namanya karena kuatir pemerintah Korea Utara akan membalas dendam terhadap keluarganya yang masih tinggal di negara itu.
Perempuan itu berkata, ia dan beberapa orang lainnya ditahan sepuluh tahun lalu karena melarikan diri dari Korea Utara, mereka dibawa kembali ke Korea Utara dan dijebloskan ke dalam penjara. "Para buronan ini mengkhianati saya, mereka mengatakan kepada polisi bahwa saya mengajarkan Alkitab pada mereka," tutur perempuan itu kepada World Watch Monitor. "Selama interogasi pertama saya dipukuli, tapi kemudian siksaannya makin buruk. Para penjaga meletakkan tongkat di antara kedua lutut saya dan menekan saya ke bawah. Saya berkata pada Tuhan bahwa saya tidak kuat lagi menerima siksaan ini dan berdoa agar Tuhan menjaga bibir saya supaya tidak menyangkal Tuhan."
Setelah hampir setahun ditahan di beberapa penjara yang berbeda, perempuan tersebut akhirnya dikirim ke sebuah kamp kerja paksa selama hampir tiga tahun. "Dinding barak kami penuh dengan noda darah, karena kami membunuh lalat dan kutu sebanyak mungkin yang bisa kami tangkap," katanya. "Dalam sehari, kami hanya menerima makanan berupa beberapa sendok jagung busuk, sup yang kami makan biasanya hanya air kotor. Jika kami haus dan ingin minum, kami harus mencurinya dari aliran sungai di dekat kamp yang penuh dengan sampah para sipir."
"Di dalam kamp, tingkat kematian sangatlah tinggi hingga mayat-mayat ditumpuk menggunung di luar krematorium," katanya. "Terkadang, mayat-mayat itu dibiarkan begitu saja berhari-hari hingga membusuk, sebelum akhirnya dibuang atau dibakar. Abu pembakaran mayat-mayat itu terhembus ke jalanan yang kami lewati setiap hari. Setiap kali saya menjejakkan kaki di atas jalan itu, saya berpikir: 'Suatu hari nanti, akan ada tahanan lain yang berjalan di atas abu ku.'"
Kalaupun ada orang Kristen lainnya di dalam kamp, mereka selalu merahasiakan identitasnya masing-masing. "Tak ada yang berani berbicara tentang iman percaya di dalam kamp," kata perempuan itu. "Selain itu, saya sangat beruntung dikirim ke sebuah kamp edukasi ulang dan akhirnya dibebaskan. Kebanyakan umat Kristen dijebloskan ke sebuah tempat yang dijuluki 'Zona Pengawasan Total', suatu kamp kerja paksa bernuansa politik, tak satu pun yang pernah dibebaskan dari sana."
No comments:
Post a Comment