Pandangan Kristen Tentang Perceraian Atau Perceraian Dalam Agama Kristen
Pandangan Kristen Tentang Perceraian
Dilansir dari laman website lifespring yang secara khusus
menyoroti permasalahan tentang rumah tangga dan konseling mengenai keharmonisan,
dikatakan bahwa “Ketika seseorang memutuskan untuk menikah, maka ia sudah
dipersatukan oleh Allah dan ini adalah ikatan yang tidak boleh diputuskan oleh
manusia. Kesatuan paling indah dan sempurna adalah di dalam Allah Tritunggal,
di mana tiga pribadi Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus saling menjadi
satu dalam hubungan yang harmonis dan saling mengasihi. Seperti Allah
Tritunggal, demikian juga indahnya kesatuan yang akan dialami di dalam
pernikahan. Menyatu bukan berarti kehilangan jati-diri dan berhenti menjadi
pribadi. Menyatu berarti melihat hal yang sama, memiliki kehendak yang sama,
dan rindu melakukan hal yang sama. Dipersatukan oleh Allah dan untuk Allah
berarti masuk ke dalam pekerjaan Tuhan, di mana kita akan dibentuk menjadi
makin serupa dengan Allah. Kesatuan di dalam pernikahan tercapai ketika kita
bersama-sama dengan pasangan merasakan apa yang Tuhan rasakan, melihat apa yang
Tuhan lihat, dan melakukan apa yang Tuhan ingin kita lakukan bagi-Nya, bagi
pasangan kita, dan bagi orang lain yang Ia kasihi ”.
Lantas, apa kata Pdt Nancy Parengkuan, Gembala Sidang Gereja
Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Domba Kristus, Ciledug, Jakarta Selatan?
”Masalah perceraian memang tidak diizinkan oleh Tuhan Yesus sendiri. Karena
memang tidak ada persoalan yang tidak dapat diselesaikan dengan cara
Alkitabiah. Akan tetapi kita tidak menutup mata karena kenyataannya banyak
terjadi perceraian sekarang ini. Ada nasehat yang mengatakan bahwa ‘janganlah
menjadikan anak-anak sebagai alasan untuk tidak bercerai’. Tetapi kita tahu
bahwa korban pertama perceraian adalah anak-anak pasangan tersebut. Nah, dalam
persoalan itu, penderitaan mereka semakin bertambah karena bukan hanya harus
berpisah dengan ayah atau ibu, tetapi juga dengan kakak atau adik. Terlepas dari
usia mereka, tetaplah perceraian orangtua akan memberikan beban kejiwaan
tersendiri bagi anak-anak mereka. Kalau mereka dalam masalah ini masih juga
harus berpisah dengan kakak atau adik, tentunya karena kekerasan hati orangtua,
bagi saya ini sangat tidak bijaksana. Pengadilan memutuskan pembagian hak asuh
anak kemungkinan karena kedua orangtua itu berkeras untuk mengasuh anak-anak
mereka. Yang tentunya diharapkan adalah kebijaksanaan salah satu pihak untuk
membiarkan kedua anak tetap dalam asuhan salah satu orangtua saja. Dengan
demikian beban anak-anak tidak terlalu berat dibandingkan apabila mereka juga
harus berpisah satu sama lain. Saya berharap agar kedua orangtua sekalipun
tidak lagi terikat dalam pernikahan, mereka tetap menjalin komunikasi yang baik
dan tetap bertukar pikiran dalam hal anak-anak mereka. Anak-anak jangan
dipisahkan.”
Pandangan Kristen Tentang Perceraian, perceraian dalam agama kristen, kasus perceraian kristen, perceraian menurut agama kristen protestan, cerai dalam agama kristen
Sementara Pdt Rospita Sinaga dari GKSI (Gereja Kristen Setia
Indonesia) Pelangi Kasih, Jakarta, mengatakan: “Tuhan melarang dan bahkan
membenci perceraian hidup. Alkitab Maleakhi 2:16 dan 1Kor 7 jelas mengatakan kalau
perceraian itu salah. Apalagi beliau kan pendeta. Anak harus dalam asuhan kasih
sayang kedua orangtua. Kasih sayang pada anak harus didapatkan dari kedua
orangtua. Orangtua harus bertanggung jawab terhadap anak-anak dalam mengasuh,
membimbing dan merawat me
Sekarang kita simak pendapat dari seorang pendeta pria,
George Marso Daniel, dari Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII), Kota Tarakan,
Kalimantan Utara. “Tentang kasus perceraian saudaraku Pdt. Aristo dan Siu Chen,
sebagai sesama seiman dan juga sebagai sesama pelayan Tuhan, saya sangat
prihatin. Seharusnya tidak harus berakhir pada perceraian seperti yang terjadi
dengan keluarga atau orang-orang yang tidak mengenal kebenaran Kristus. Saya
tetap berpegang pada kebenaran dalam Injil Matius 19:4-6 bahwa “apa yang telah
dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”. Artinya, masalah atau
persoalan dalam keluarga, termasuk masalah keuangan, masalah perbedaan status
sosial, masalah moralitas, dan otoritas hukum sekalipun (pengadilan), tidak
boleh menceraikan kedua orang yang telah dipersatukan Allah. Jadi, apabila
kebenaran tadi diabaikan, tentu dampak secara rohani, sosial, fisik, dan mental
pun menjadi persoalan baru yang tidak mudah dihadapi oleh kedua pihak, teristimewa
bagi anak-anak mereka. Ini memerlukan waktu yang sangat lama untuk
memulihkannya. Pada satu sisi lainnya, sebagai anak-anak Tuhan, terlebih
sebagai ‘pelayan Tuhan’, kesaksian hidup kita menjadi tawar di tengah umat yang
kita pimpin. Tuhan kita yang Mahabaik, pasti sudah mengampuni kesalahan sebesar
apa pun, tetapi kita sebagai pengikut-Nya tetap meresponi kebaikan hati-Nya
dengan mengakui otoritas-Nya sebagai Bapa, menaati Dia dan menghidupi kasih-Nya
sampai mati. Jadi, perceraian bukan solusi terbaik penyelesaian masalah
anak-anak Tuhan. Tetapi, apabila hal itu sudah terjadi, bersiaplah menghadapi
dampaknya.”
Yang juga mengherankan kita adalah ini: Aristo adalah putra
dari seorang pendeta besar yang terkenal dengan pelayanan-pelayanan mukjizatnya.
Dikarenakan hal itulah kita bertanya, lalu apa peran Pdt Pariadji dalam hal
ini? Tidakkah ia dapat melakukan upaya-upaya untuk mencegahnya? Sudahkah ia
secara maksimal melakukan hal itu? Ataukah kali ini mukjizat luput dari bahtera
rumah-tangga putra sulungnya itu?
Banyak pertanyaan yang sulit dijawab setelah peristiwa
sakral ”satu daging” itu kini telah kembali menjadi ”dua daging”. Kenneth kini
harus berpisah dari ayahnya, karena diasuh oleh Siu Chen. Sedangkan Graciella
berpisah dari ibunya, karena diasuh oleh Aristo. Bagaimanakah kelak masa depan
mereka? Entahlah.
Tim Reformata
No comments:
Post a Comment